Daán yahya/Republika

Sang Politisi Teladan dari Tanah Betawi

Mohammad Husni Thamrin berjuang menyuarakan kepentingan rakyat dan kebangsaan Indonesia pada era kolonial.

Oleh: Hasanul Rizqa

Umumnya orang mungkin sepakat, kini sukar sekali menemukan keteladanan dalam diri politikus. Mereka yang “bermain” di dunia politik saat ini acap kali mengincar uang, jabatan, dan kekuasaan saja. Padahal, ketiga entitas itu semestinya menjadi jalan untuk tujuan yang lebih luhur, yakni mewujudkan persatuan, kesejahteraan, dan tertib hukum yang berkeadilan untuk seluruh warga bangsa.

 

Sejarah barangkali menjadi semacam oasis tempat orang-orang kini menghilangkan dahaga akan suri teladan. Sebab, tidak sedikit tokoh politik yang hidup di masa lalu menerapkan keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Mereka pun terus menjaga idealisme-nya yang berorientasi pada kepentingan publik, bukan egoisme diri dan golongan.

 

Salah seorang politikus dalam sejarah Indonesia pra-kemerdekaan ialah Mohammad Husni Thamrin (ejaan tempo dulu: Mohammad Hoesni Thamrin). Pria asli Betawi itu menjadikan politik sebagai jalan pengorbanan demi menjaga hak-hak masyarakat banyak, bukan untuk mengejar harta dan jabatan. Berpolitik baginya bukan untuk jadi kaya, tetapi hidup bermanfaat untuk rakyat.

 

Ia lahir pada 16 Februari 1894 di Sawah Besar, Batavia—kini Jakarta. Kedua orang tuanya adalah Haji Tabri Thamrin dan Hajjah Nurhana. Mereka membesarkan sang buah hati dengan curahan kasih sayang dan nilai-nilai kemajuan.

 

Kebanyakan orang Betawi pada masa itu memandang pendidikan agama Islam sebagai satu-satunya aktivitas belajar. Karena itu, anak-anak pasti dididik untuk bisa membaca Alquran, rajin shalat lima waktu, dan paham dasar-dasar keislaman. Tidak terpikir bagi para orang tua untuk menempa buah hatinya dengan pendidikan ala Barat.

 

Haji Tabri Thamrin agak berbeda dengan umumnya warga Betawi itu. Ia justru mengarahkan anaknya agar juga menuntut ilmu di sekolah-sekolah formal bentukan pemerintah kolonial Belanda—di samping tetap mengutamakan pendidikan keislaman. Maka, Mohammad Husni Thamrin sejak kecil akrab dengan pendidikan umum. Betapapun, mengaji tidak ditinggalkannya. Orang tua mengantarkannya belajar ke Habib Ali al-Habsyi, seorang alim terkenal yang tinggal di Kwitang.

 

Tabri Thamrin sendiri pernah menjadi seorang wedana di Batavia pada masa gubernur jenderal Johan Cornelis van der Wijck. Ayahnya—yakni kakek biologis Mohammad Husni Thamrin—adalah seorang pengusaha berdarah Inggris yang mempunyai sebuah hotel di Petojo. Bisa dikatakan, suasana kosmopolitan cukup kental di keluarga ini.

 

Mulanya, Husni Thamrin belajar di Institut Bocsch. Dari sana, ia melanjutkan pendidikan ke Kunig Willen III, setingkat Hoogere Burgerschool (HBS) atau sekolah menengah atas. Namun, belakangan pemuda ini tidak menyelesaikan sekolah.

dok wikipedia

Sebab, tepat ketika itu ayahnya memasuki masa pensiun. Sebagai seorang anak yang berbakti, Husni Thamrin merasa bertanggung jawab. Ia pun keluar dari sekolah dan memilih bekerja sebagai seorang juru tulis di kantor kepatihan. Kariernya cukup baik sehingga berpindah tempat ke kantor residen.

 

Pada masa itu, pemerintah kolonial memberlakukan piramida sosial di Hindia. Di puncak piramida itu, terdapat orang-orang Belanda totok (murni). Di bawah mereka, ada kelompok yang disebut Timur Asing atau Vreemde Oosterlingen. Itu terdiri atas penduduk Hindia yang memegang paspor dari negara asing non-Eropa, misalnya dari Arab atau Tiongkok. Yang paling bawah di stratifikasi sosial ini adalah kaum Pribumi alias inlanders.

 

Sebagai pusat pemerintahan Hindia, Batavia pun amat ketat menerapkan politik kolonial yang amat diskriminatif itu. Misalnya, di berbagai tempat pertemuan, terpampang tulisan: “Pribumi dan anjing dilarang masuk.” Tentu saja, perlakuan rasisme tersebut amat memukul perasaan orang-orang Betawi. Mereka walaupun berjumlah mayoritas dianggap sebagai warga negara kelas tiga—yang bahkan disetarakan dengan hewan.

 

Luka batin itu pun dirasakan Thamrin muda. Di tempat kerjanya, ia diwajibkan untuk merendah-rendah di hadapan orang Belanda totok. Meskipun orang Belanda di depannya berusia lebih muda atau mungkin tidak lebih pandai darinya, sikap inferior itu sudah seperti kewajiban.  Karena tidak tahan harus membungkuk terus pada Belanda, ia pun keluar dari pekerjaannya.

 

Thamrin kemudian bekerja di sebuah kantor pelayaran bernama KPM. Seperti diceritakan sejarawan Anhar Gonggong dalam buku biografi Muhammad Husni Thamrin (1985), pada perusahaan itu pemuda yang biasa dipanggil keluarganya sebagai Matseni ini berposisi sebagai pemegang buku (book keeper). Cukup lama ia mencari nafkah di sana, yakni antara tahun 1914 dan 1924.

 

Dalam masa-masa kerja itulah, titik-titik perubahan hidup Husni Thamrin terjadi. Dirinya kian tertempa untuk lebih menghayati kehidupan masyarakat Betawi yang selalu tertindas dalam sistem kolonial. Lambat laun, ia pun tumbuh menjadi sosok pemimpin dalam pergerakan nasional.

 

Menurut Anhar, salah satu faktor terpenting dalam awal perubahan Thamrin kala itu ialah perkenalan dengan seorang anggota Dewan Kota Praja (Gemeenteraad) Batavia yang berbangsa Belanda, van der Zee. Ketika bekerja di KPM, ia mulai akrab dengan politikus berhaluan sosialis itu.

Legislator asal Batavia itu adalah yang pertama menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad, tepatnya pada 12 Juli 1938.

Keduanya memang berbeda kebangsaan, tetapi mereka berdialog dengan antusias. Masing-masing memiliki ide-ide kemasyarakatan yang sering memunculkan titik temu. Memang, Thamrin muda amat bersemangat untuk usaha-usaha perbaikan kehidupan rakyat Betawi. Latar belakangnya sebagai seorang anak wedana tidak menghalanginya untuk turut berempati terhadap rakyat jelata.

 

Di lain pihak, van der Zee mendapatkan perspektif baru dari perbincangan dengan Thamrin. Politikus sosialis itu menjadi paham berbagai persoalan nyata yang dihadapi kebanyakan masyarakat Batavia akar rumput. Sebagai contoh, banjir yang selalu terjadi akibat meluapnya Sungai Ciliwung.

 

Kemudian, van der Zee melontarkan masalah tersebut di sidang Gemeenteraad Batavia. Ternyata, upayanya ini tidak sia-sia. Gubernur jenderal lantas setuju untuk mengupayakan supaya air Sungai Ciliwung tidak lagi mendatangkan bencana tersebut. Yakni, dengan membuat kanal agar tumpahan air sungai tersebut dapat langsung langsung mengalir ke laut, alih-alih menggenang lama di sekitarnya.

 

Beberapa waktu berlalu. Gemeenteraad Batavia kemudian membuka rekrutmen untuk anggota baru. Kebetulan, ketua perkumpulan pemilihnya adalah van der Zee. Maka, kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Thamrin. Pada 29 Oktober 1919, ia pun memulai kariernya sebagai seorang wakil rakyat di sana.

 

Sementara itu, memasuki tahun 1920-an pengaruh Politik Etis kian terasa dengan munculnya berbagai organisasi yang mengusung semangat perbaikan masyarakat—dan bahkan kebangsaan. Hebatnya, mereka diinisiasi kalangan Pribumi. Beberapa contoh di antaranya ialah Sarekat Dagang Islam (16 Oktober 1905—belakangan menjadi Sarekat Islam), Budi Utomo (20 Mei 1908), Indische Vereeniging (22 Desember 1908), Muhammadiyah (18 November 1912), Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926), serta Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927).

 

Padahal, Politik Etis semula dirancang sebagai sebuah taktik kolonial. Cikal bakalnya dapat ditelusuri sejak Christiaan Snouck Hurgronje menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda pada 1889. Profesor Universitas Leiden itu menghendaki koeksistensi antara Belanda dan Hindia di masa depan. Untuk itu, cendekiawan yang fasih berbahasa Arab dan Melayu itu berharap, Pribumi—utamanya Muslimin—Hindia Belanda mampu beradaptasi dengan ide-ide baru dari tradisi liberalisme Eropa Barat abad ke-19 M.

 

Caranya melalui pendidikan. Total rakyat Hindia Belanda yang menempuh sekolah-sekolah Barat pun meningkat. Jajat Burhanudin dalam buku Islam Dalam Arus Sejarah Indonesia (2017) menjelaskan, jumlah kaum Pribumi terdidik melonjak dari hanya sebanyak 269.940 orang pada 1900 menjadi 1,7 juta jiwa pada 1930-an. Proporsinya memang sangat kecil, tak lebih dari tiga persen, bila dibandingkan dengan keseluruhan penduduk. Sebab, sedari awal Belanda toh tidak pernah berkomitmen untuk memeratakan pendidikan di negeri jajahan.

dok wikipedia

Namun, golongan yang sedikit secara kuantitas itu kemudian menjadi amat berpengaruh. Mereka tampil “mengalahkan” kelas priyayi atau bangsawan darah melalui pemikiran dan tindakan nyata di tengah masyarakat. Mereka-lah minoritas kreatif yang akhirnya menentukan alur sejarah Indonesia.

 

Dalam situasi demikian, M Husni Thamrin termasuk di antara kelompok minoritas kreatif itu di Batavia. Sejak pengangkatannya sebagai seorang anggota Gemeenteraad, ia semakin giat memperjuangkan ide-idenya untuk memperbaiki keadaan masyarakat Pribumi, khususnya kaum Betawi. Bahkan, di parlemen-daerah itu pun ia turut menciptakan kekuatan-kekuatan nasionalis sehingga terbentuklah front nasional.

 

Pada 1929, terjadi sebuah insiden ketika pemerintah kolonial mengangkat seorang Belanda totok sebagai wakil wali kota Batavia. Belakangan, diketahui bahwa orang itu tidak kompeten. Bahkan, latar pengetahuan dan pengalamannya sesungguhnya kalah jauh dibanding seorang Betawi yang dinilai masyarakat lebih pantas untuk jabatan tersebut.

 

Karena aspirasi rakyat Betawi tak kunjung didengarkan, fraksi nasional di Gemeenteraad lalu melakukan pemogokan. Akhirnya, pemerintah kolonial mengalah. Lalu, diangkatlah Husni Thamrin untuk menggantikan orang Belanda totok itu di jabatan wakil wali kota.

 

Reputasi putra daerah Betawi ini memang sudah cukup lama berkibar. Malahan, dua tahun sebelum menerima posisi wakil wali kota itu, ia sudah ditunjuk sebagai anggota Volksraad, yakni semacam dewan rakyat Hindia Belanda. Mulanya, kursi kosong di Volksraad itu ditawarkan kepada HOS Tjokroaminoto, tetapi tokoh Sarekat Islam itu menolaknya. Kemudian, itu disodorkan kepada Dr Sutomo, tetapi sosok penggerak Budi Utomo itu pun enggan mengambilnya.

 

Maka, dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin Dr Sarjito. Alumnus STOVIA itu menawarkan forum agar memilih Husni Thamrin sebagai wakil Batavia untuk duduk di Volksraad. Usulan itu diterima secara aklamasi dan anggota Gemeenteraad itu pun “naik” ke level yang lebih nasional.

 

Pada waktu pengangkatan Thamrin sebagai anggota Volksraad, pemerintah kolonial sedang mengubah haluan politiknya menjadi lebih keras terhadap pergerakan Pribumi. Hal itu sebagai imbas dari pecahnya pemberontakan komunis pada 1926. Setahun kemudian, Ir Sukarno mendirikan PNI. Sejak awal kemunculannya di ruang-ruang publik, Bung Karno menempuh jalan enggan bekerja sama (non-kooperasi) dengan pemerintah penjajah. Tidak mengherankan bila dalam kongres pertama di Surabaya pada 1928, PNI menyuarakan tujuan mencapai Indonesia Merdeka.

 

Dalam tahun yang sama pun, terjadi peristiwa historis yang berdampak besar: Sumpah Pemuda. Itu merupakan hasil putusan Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia. Forum tersebut dihadiri berbagai organisasi kepemudaan dari berbagai daerah, semisal Jong Java, Jong Sumatra, Kaum Betawi, dan lain-lain. Adapun pendahulunya, yakni Kongres Pemuda I, berlangsung pada 30 April–2 Mei 1926, juga bertempat di Batavia.

dok antara/m agung rajasa

Kongres pada 1926 itu menghasilkan kesepakatan tentang kegiatan-kegiatan pemuda pada segi sosial, ekonomi, dan budaya. Adapun Kongres Pemuda II mengkristalkan tekad seluruh organisasi kepemudaan nasionalis mengenai nasib Tanah Air ke depan. Meskipun berasal dari latar belakang kedaerahan dan ideologi yang berbeda-beda, mereka dapat menyatukan suara. Semuanya terikat kesadaran kebangsaan yang kuat untuk meneguhkan persatuan Indonesia.

 

Hasil pertemuan akbar itu adalah sebuah ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

 

Dalam hubungannya dengan itu, Thamrin pun turut berperan dalam sosialisasi bahasa Indonesia. Menurut Anhar, legislator asal Batavia itu adalah yang pertama menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad, tepatnya pada 12 Juli 1938. Setahun kemudian, ia juga mengecam pihak redaksi media Deli Courant yang mencela pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Thamrin menyebut pemimpin redaksi tersebut, SB Klooster, sebagai “orang Belanda yang sombong.”

 

Sebagai seorang politikus, Thamrin tentunya pernah bergiat dalam partai politik. Salah satunya Partai Indonesia Raya (Parindra) yang dibentuk tokoh Budi Utomo, dr Sutomo, pada 1935. Berbeda dengan PNI, Parindra memilih jalan ko-operasi dengan pemerintah kolonial. Sesudah wafatnya Sutomo, Thamrin naik menjadi ketua umum. Pada Mei 1939, ia menjadi pendorong utama di balik penggabungan Parindra dan tujuh organisasi nasionalis lainnya ke dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI).

 

Kemudian, GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI) pada 25 Desember 1939 di Batavia. Dalam kongres ini, berdengunglah tuntutan “Indonesia berparlemen.” Selain itu, desakan untuk menerapkan Merah Putih dan Indonesia Raya sebagai masing-masing bendera dan lagu persatuan Indonesia. Tambahan pula, desakan untuk meningkatkan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia. Upaya-upaya yang telah diadakan GAPI itu memang tidak membawa hasil yang maksimal. Namun, pemerintah kolonial meresponsnya dengan cukup reaktif, yakni antara lain dengan mengeluarkan peraturan inheemse militie serta memperketat izin mengadakan rapat umum.

 

Nyaringnya suara MH Thamrin untuk menyampaikan aspirasi bangsanya tentu terasa pula di dalam ruang sidang Volksraad. Fraksi Nasional, yang diinisiasinya di sana, hanya berisi 10 orang sehingga mungkin secara kuantitas tidak sebanding dengan mayoritas legislator. Namun, pengaruhnya tidak kurang keras daripada, umpamanya, PNI besutan Bung Karno. Adapun ke-10 anggota Fraksi Nasional ialah Kusumo Utoyo, Dwijosewoyo, Datuk Kayo, Mokhtar, Nya Arief, Soangkopon, Pangeran Ali, Suradi, Suroso, dan Thamrin sendiri.

 

Menurut Anhar, tujuan yang hendak dicapai Fraksi Nasional ialah mewujudkan Indonesia Merdeka yang sebisa mungkin dalam waktu selekas-lekasnya. Tentang hal itu, MH Thamrin pernah berpidato di depan sidang Volksraad pada 27 Januari 1930. Ia menyatakan antara lain, “National Fractie (Fraksi Nasional) menghendaki supaya Indonesia merdeka seberapa boleh dengan selekas-lekasnya.”

 

Dalam sebuah pidatonya, Thamrin juga mengecam penggunaan istilah inlander dan inheemsch untuk menunjuk pada kaum Pribumi. Ia lantas mendesak agar kedua terminologi itu diganti menjadi Indonesier dan Indonesisch. “Perkataan inlander tidak menyatakan suatu kebangsaan, sedang rakyat Indonesia berbangsa. Di Belanda juga tidak dipakai ucapan inlander untuk penduduk negeri Belanda. Maka, lambat laun perkataan inlander di Indonesia sudah mendapat artian yang merendahkan,” katanya.

dok ksp

Aspirasi berikutnya yang diperjuangkan MH Thamrin ialah mendesak pemerintah kolonial untuk menghapus Ordonansi Sekolah Liar. Aturan itu sebenarnya berakar dari kecurigaan Belanda terhadap pergerakan umat Islam. Berawal dari Ordonansi Haji yang aneh karena dengannya pemerintah merasa berhak untuk menetapkan siapa di antara orang-orang Hindia yang baru pulang dari Tanah Suci itu layak bergelar haji. Ya, sesungguhnya aturan tersebut adalah filter untuk menyaring para haji Pribumi. Mana dari mereka yang berpotensi menyebarkan gagasan perlawanan sehingga mengganggu tatanan (rust en orde) kolonial; dan mana yang bukan.

 

Fauzan Asy dalam buku Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara (2004) mengungkapkan, pada 1905 pemerintah kolonial menerapkan Ordonansi Guru setelah menyimak saran-saran dari Presterraden Commisie. Mulanya, wujud beleid ini adalah sertifikasi. Belakangan, ia mengekang kebebasan guru-guru agama di Jawa dan Madura. Seorang guru mesti memegang izin tertulis dari pemerintah kolonial sebelum diperkenankan mengajar para santri. Melalui itu pula, penguasa mengawasi dan mengontrol materi ajar mereka.

 

Pada 1920-an, aturan itu melunak, sehingga mewajibkan para ulama sekadar melapor saja kepada aparat. Namun, pada 1932 muncul Ordonansi Sekolah Liar yang berupaya mengendalikan sekolah-sekolah inisiatif masyarakat—yakni bukan sekolah-sekolah formal bentukan pemerintah. Aturan itu tidak hanya ditentang kalangan pesantren, tetapi juga kelompok pergerakan nasional sekuler.

 

Menurut Anhar, MH Thamrin amat keras menentang Ordonansi Sekolah Liar. Bahkan, legislator berdarah Betawi itu mengancam akan mengundurkan diri dari keanggotaan Volksraad bila aturan tersebut tidak dibatalkan pemerintah. Setelah sempat berkilah, gubernur jenderal Hindia Belanda akhirnya mencabut ordonansi tersebut.

 

Anhar mengatakan, posisi sosok dan perjuangan MH Thamrin di kancah pergerakan nasional Indonesia pada awal abad ke-20 M cukup unik. Tokoh asal Betawi ini adalah seorang pemimpin yang berhaluan ko-operasi di sepanjang karier politiknya. Artinya, ia bersedia bekerja dalam institusi-institusi pemerintah kolonial, tetapi menggunakan kedudukan yang diperolehnya dalam institusi-institusi itu sebagai alat perjuangannya yang jelas-jelas pro-rakyat dan kebangsaan Indonesia. Maka, sikap politiknya telah melahirkan rasa segan, baik dari lawan maupun kawan.

 

Diucapkan atau tidak, MH Thamrin mendorong timbulnya rasa saling menghormati di antara sesama tokoh pergerakan kebangsaan, baik yang di lini anti-kooperasi maupun kooperasi. Sebagai contoh, dalam berbagai kesempatan Thamrin mengecam pemerintah kolonial yang bertindak keras terhadap PNI dan Partindo—keduanya memilih jalan non-kooperatif terhadap Belanda.

 

Alhasil, Belanda pun pada akhirnya memandang Thamrin “segolongan” dengan mereka yang non-kooperatif. Rumah tokoh Fraksi Nasional Volksraad itu pernah digeledah polisi kolonial. Ia dan keluarganya pun dilarang keluar kota tanpa izin aparat. Padahal, ketika itu Thamrin sedang terbaring sakit.

 

Pada 11 Januari 1941, MH Thamrin menghembuskan nafas terakhir saat menjalani perawatan medis. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet. Pada saat pemakamannya, lebih dari 10 ribu pelayat melepas kepergiannya. Sebagian mereka lalu berdemonstrasi untuk menuntut penentuan nasib sendiri bagi Indonesia dan kemerdekaan dari Belanda.

top